Oleh: Restu Syahputra
Masalah
memang benar-benar terjadi ketika harga bahan bakar minyak hampir dari tahun ke
tahun mengalami kenaikan. Masih teringat memori Maret 2012 tahun lalu, dimana ribuan
mahasiswa turun kejalan menentang kenaikan harga BBM, kala itu para demonstran
melakukan aksi yang diwarnai kericuan, tidak sidikit menimbulkan korban, sarana
dan prasarana turut menjadi amukan masa. Aksi itu tidak hanya terjadi di Medan
saja, tetapi hampir di seluruh kawasan Indonesia mengalami hal yang
serupa. Amukan masa di tahun 2012 itu
membuahkan hasil, dimana dapat menekan kebijakan pemerintah yang ingin menaikan
harga Premium dari Rp 4500/liter menjadi 6000/liter. Seiring berjalannya waktu
di tahun 2013 ini kenaikan BBM di isukan akan naik kembali, apa yang terjadi
bila harga bahan bakar minyak mengalami kenaikan, sepertinya rakyatlah yang
menjadi korban dari penganiyaan itu, tentu saya katakan penganiyaan karna
memang banyak sekali masyarakat terkhusus masyarakat di kalangan menengah
kebawah menderita akibat kenaikan BBM tersebut. Telah kita ketahui bersama
kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini sangat tergantung kepada BBM,
menjamurnya alat transportasi baik itu roda dua dan empat seolah menjadi kewajaran
apabila harga BBM dinaikan.
dan batu menjadi tanaman, yang katanya laut dan jala mampu menghidupimu. Sungguh ironis apabila “tanah surga” itu hanya berbentuk syair-syair lagu semata
.
Dengan kenaikan harga BBM biasanya direnspon
oleh pasar dengan menaikan harga barang dan tarif jasa, jika hal tersebut
terjadi maka masyarakat berpenghasilan pas-pasan dan masyarakat miskinlah yang
mengalami penderitaan. Pemerintah semestinya memperhatikan gejala dari kenaikan
harga BBM tersebut, renspon dari kebijakan pemerintah tersebut kemungkinan dapat
mengakibatkan melonjaknya kebutuhan pokok (Sembako) dan tarif angkutan umum.
Naiknya harga bahan bakar minyak bersubsidi menjadi alasan pasar menaikan harga
kebutuhan pokok, mulai dari beras, sayur mayur hingga daging dan ikan. Harga
dinaikan karena alasan naiknya ongkos distribusi.
Alangkah
lucunya negeri ini, dinegeri sendiri saja seolah-olah masih terjajah, “terjajah
dinegeri sendiri”. Mencari sesuap nasi saja butuh usaha keras, padahal tanah
kita suburnya mintak ampun, jumlah pengamen bahkan pengemis di jalanan semakin
membludak, anak-anak terlantar yang seharusnya dilindungi negara, ternyata
tidak sedikitpun memperoleh haknya. Tingkat kegilaan di negeri ini semakin
menjadi-jadi, perhatikan saja di jalan-jalan yang sering kita laluin hampir
setiap saat kita menjumpai orang-orang maaf “gila”. Faktor psikologis akan
kebutuhan ekonomi yang tidak dapat terpenuhi, turut menjadi pengaruh utama
membludaknya pengamen, pengemis dan orang-orang sekali lagi maaf “gila”.